Inpara : Inbrida Padi Rawa

Lahan rawa merupakan lahan marjinal yang memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan padi. Di Indonesia dipekirakan terdapat 33,4 juta ha lahan rawa, 9,5 juta ha diantaranya berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan yang sudah direklamasi sekitar 5,4 juta ha terdiri dari 4,1 juta ha lahan pasang surut dan 1,3 juta ha lahan lebak. Pengembangan padi ke lahan rawa merupakan salah satu alternatif untuk menunjang program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dan mengantisipasi penciutan lahan produktif yang terus berlangsung di sentra produksi padi di Pulau Jawa. Program tersebut dikembangkan dengan melakukan intensifikasi melalui peningkatan indeks pertanaman atau peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam ke lahan-lahan sub-optimal termasuk ke lahan rawa.
Penanaman padi di lahan rawa terutama diarahkan pada lahan pasang surut tipe luapan air A dan B untuk padi sawah dan lahan tipe luapan air C untuk padi gogo. Di lahan lebak, padi dapat ditanam di lahan lebak dangkal dan tengahan. Indeks pertanaman (IP) padi di lahan rawa saat ini diperkirakan baru 1,05, yaitu umumnya lahan rawa hanya ditanami padi lokal/unggul satu kali dalam setahun. Penggunaan varietas unggul padi rawa yang berumur lebih genjah dan berproduksi lebih tinggi daripada padi lokal dapat meningkatkan indeks pertanaman dan produksi padi nasional. Peningkatan indeks pertanaman dan produksi padi akan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam peningkatan produksi beras nasional.
 
Permasalahan
Masalah utama peningkatan produksi padi di lahan rawa adalah kondisi biofisik lahan (terutama masalah air dan kesuburan tanah), kondisi sosial ekonomi yang berhubungan dengan sumber daya manusia (petani), keterbatasan sarana dan prasarana, dan kebijakan yang belum berpihak pada optimasi pemanfaatan lahan marjinal. Padi dapat tumbuh dengan baik di lahan rawa pasang surut dan lebak apabila lahannya dikelola dengan baik. Pada lahan bukaan baru dengan tingkat kemasaman tanah sangat masam (pH<4) dan kandungan Fe2+ cukup tinggi (300-400 ppm), penanaman padi unggul di lokasi tersebut jarang berhasil, karena kondisi cekaman biofisik lahan sangat berat. Perlu teknologi ameliorasi dan pengelolaan air yang tepat agar lahan dapat dimanfaatkan dengan baik untuk penanaman padi unggul. Padi lokal terutama jenis siam cukup adaptif pada kondisi lahan tersebut, tetapi umumnya hasilnya rendah. Petani padi di lahan pasang surut dominan menanam padi lokal, karena kemampuan adaptasinya yang baik, input produksi yang diperlukan rendah, sehingga biaya produksi dapat ditekan. Kebutuhan petani untuk menanam padi sebagian besar masih untuk mencukupi konsumsi keluarga bukan untuk keperluan bisnis.
 
Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa
Dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani di lahan rawa, baik lahan rawa pasang surut maupun lahan lebak, perlu adanya inovasi teknologi pengelolaan lahan rawa, sehingga lahan rawa dapat dimanfaatkan dengan lebih baik lagi. Kunci utama pengelolaan lahan rawa adalah pengelolaan lahan, hara dan air yang tepat serta penggunaan varietas yang adaptif. Bila keempat komponen teknologi tersebut dapat saling bersinergi, maka akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi padi yang optimum. Perbaikan kondisi biofisik lahan melalui perbaikan sistem tata air, ameliorasi, pemupukan organik maupun anorganik dan penggunaan varietas adaptif dapat meningkatkan kualitas lahan rawa. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pengelolaan air, ameliorasi dan pupuk dan penggunaan varietas adaptif, hasil padi di lahan rawa dapat ditingkatkan.
 
Inpara (Inbrida Padi Rawa)
Inpara (inbrida padi rawa) merupakan varietas padi yang dilepas untuk adaptasi di lahan rawa. Sejak tahun 2008, sistem pemberian nama padi unggul mengalami perubahan, tidak lagi menggunakan nama sungai, tetapi berdasarkan agroekosistem. Inpara untuk padi rawa, Inpari untuk padi irigasi, dan Inpago untuk padi gogo. Ada 6 varietas padi rawa yang telah dilepas oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yaitu Inpara 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
Setiap varietas memiliki adaptasi yang spesifik terhadap lingkungannya. Penanaman padi rawa di daerah yang sesuai wilayah adaptasinya akan membuat tanaman tumbuh baik dan produksi padi maksimal. Sebaliknya penanaman padi rawa di luar wilayah adaptasinya, sering mengalami kegagalan. Potensi hasil varietas Inpara rata-rata di atas 5 t/ha dan cukup berpotensi untuk dikembangkan di wilayah adaptasinya masing-masing.
Umur padi rawa relatif lebih genjah dibandingkan padi lokal yang berumur 7-9 bulan. Diantara varietas padi rawa, Inpara 5 tergolong berumur paling genjah, sedangkan Inpara 4 berumur paling dalam. Oleh karena itu, umur panen perlu dipertimbangkan dalam penentuan varietas yang akan ditanam. Selain umur panen, rasa nasi juga turut berperan dalam pengembangan varietas di lahan rawa. Pada umumnya petani di lahan rawa (seperti di Kalimantan Selatan) meyukai rasa nasi yang pera. Varietas dengan rasa nasi pera punya peluang untuk dikembangkan di lahan rawa terutama lahan pasang surut. Inpara 1, 3 dan 4 memiliki rasa nasi pera, Inpara 5 dan 6 rasa nasi sedang dan Inpara 2 rasa nasi pulen.
Adaptasi varietas Inpara di lahan rawa cukup bervariasi. Hasil observasi di lapang menunjukkan bahwa adaptasi varietas Inpara 2, Inpara 3 dan Inpara 4 cukup baik di lahan pasang surut, sedangkan varietas Inpara 5 kurang baik. Varietas Inpara 3 memiliki adaptasi yang luas, dapat ditanam dengan hasil baik di lahan pasang surut sulfat masam dan bergambut, lahan lebak, lahan tadah hujan dan lahan irigasi. Di lahan lebak, selain Inpara 3, pertumbuhan varietas Inpara 2 dan Inpara 4 cukup baik. Varietas Inpara 4 memiliki adaptasi yang cukup baik di lahan lebak, tetapi umurnya lebih panjang dari Inpara 2 dan 3, sehingga pada daerah yang periode keringnya hanya 3-4 bulan, varietas tersebut akan mengalami kekeringan pada periode pengisian biji. Di lahan sawah irigasi, pertumbuhan varietas Inpara 5 cukup baik. Varietas Inpara 5 sangat peka dengan kondisi stress air. Varietas tersebut memerlukan kondisi air tergenang karena bila mengalami fase kekeringan akan muncul gejala mirip penyakit blas.
Saat ini pengembangan padi rawa dinilai masih belum meluas di kalangan petani lahan rawa. Hal ini terlihat dari permintaan benih padi rawa masih terbatas. Dua varietas dominan yang banyak diminati petani adalah Ciherang dan Mekongga. Petani suka kedua varietas tersebut karena produktivitasnya tinggi dan benih cukup tersedia di pasaran. Sedangkan ketersediaan benih padi rawa masih terbatas dan diseminasinya juga belum meluas. Kedua hal tersebut boleh jadi menjadi penyebab belum berkembangnya varietas Inpara di kalangan petani rawa.
Badan Penelitian dan Pegembangan Pertanian melalui UPBS di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) melakukan terobosan dengan memproduksi benih padi rawa dan sekaligus mendesiminasikan varietas Inpara agar lebih dikenal dan diadopsi petani. Varietas Inpara berpeluang dikembangkan di lahan sub-optimal seperti di lahan rawa. Pada lahan lebak dengan kendala genangan air, ternyata varietas Inpara 3 mampu tumbuh dan berproduksi cukup baik, dibandingkan varietas Ciherang yang tidak tahan genangan. Pada lahan pasang surut dengan kendala kemasaman tanah dan keracunan besi, ternyata varietas Inpara 3 dan 4 juga mampu tumbuh dan berproduksi lebih baik dibandingkan dengan varietas Ciherang. Varietas Ciherang akan berproduksi baik pada daerah dengan kondisi lahan yang baik, sedangkan pada daerah dengan kendala kemasaman atau keracunan besi tinggi, varietas ini kurang adaptif.
 
Sumber : Ballitra, Banjarbaru

Comments are closed.