Ijazah Abal-Abal Di Perguruan Tinggi Besar

Perguruan tinggi besar melahirkan orang-orang besar. Ya, itu dulu ketika saya masih berusia belasan tahun dan pernah kepincut untuk belajar di perguruan tinggi besar ini. Kenyataannya hingga sekarang cita-cita itu tidak kesampaian.

Saya sangat mengagumi banyak tokoh dari perguruan tinggi yang amat tersohor pada era 80-an ini. Nama harum mereka mewarnai hampir seluruh wacana pendidikan tingkat nasional dan internasional kala itu. Yang lebih membanggakan juga adalah menonjolnya tokoh ibu yang menciptakan kesan terkonvergensinya makna pendidikan dan watak ibu yang asah, asih, dan asuh. Ketika berkesempatan bertemu dengan beliau-beliau, saya proaktif menyalami dengan hangat seraya berharap energi positif mereka mengalir lewat telapak tangan. Continue reading

World Education Festival

Kamu bingung tentukan karirmu seperti apa untuk masa depan? Guru? Pilot? Arsitek? Dokter? Ayo persiapkan diri anda pada festival akbar “World Education Festival 2017” yang akan diselenggarakan 25-26 Februari 2017 di Pullman Hotel Central Park Jakarta. Info lebih lanjut bisa lihat pada Facebook: World Education Expo Indonesia , Twitter: @WEEIndonesia , Instagram: weeindonesia atau kunjungi laman: www.weeindonesia.com

Jangan Permainkan Pendidikan

Penjajahan selama 350 tahun oleh Belanda plus 3,5 tahun oleh Jepang ternyata sangat membekas buruk dalam benak rata-rata orang Indonesia. Setelah lebih dari 70 tahun merdeka, jangankan rakyat biasa, di kalangan tokoh pemimpin bahkan masih kelihatan rasa minder pada segala sesuatu yang “asing”. Yang memprihatinkan adalah ide bahwa pendidikan universiter sebaiknya dipimpin rektor asing supaya pendidikan tinggi Indonesia mampu bersaing di kelas dunia. Dulu kita dikejutkan oleh niat pemerintah mendirikan “sekolah menengah internasional”, kini lahir ide tak kalah aneh mengenai sanjungan pada “rektor asing”.

Orang asing yang menawarkan diri berkarya di negeri terbelakang, seperti Indonesia, karena dia tidak laku di negerinya sendiri. Kalau dia memang ahli di bidangnya, dia akan dipekerjakan oleh pemerintah atau masyarakatnya sendiri. Kalau ada orang asing yang kelihatan “mampu” menduduki suatu jabatan internasional, sekarang ini bukan lagi berdasarkan kapasitas kinerja dan reputasi akademis pribadi, tetapi lebih banyak karena backing negaranya Continue reading

Agama dan Korupsi (Bagian 2)

Selanjutnya, para ahli mengatakan bahwa dalam keadaan sebenarnya, internalisasi nilai mencakup proses transformasi mental yang cukup panjang.

Proses tersebut dimulai dari memahami nilai-nilai yang diajarkan, merasakan nilai-nilai yang dipahami, menghormati apa yang dirasakan, meyakini dan bersedia terikat (punya komitmen) dengan nilai-nilai yang dihormati dan terdorong untuk melakukan nilai-nilai yang diyakini tersebut.

Jadi, pengertian dan pemahaman kita terhadap suatu atau sejumlah nilai tidak serta-merta dapat mendorong perubahan perilaku. Jika kita tak cukup merasakan, tak cukup menghormati, kurang meyakini dan kurang terikat dengannya, dan belum terdorong melakukannya, nilai-nilai tersebut tak akan memiliki dampak apa pun pada perilaku kita. Continue reading

Agama dan Korupsi (Bagian 1)

Beberapa tahun lalu saya diminta menjadi pembicara dalam seminar tentang peran iman dan moral sebagai penangkal korupsi demi keberlanjutan pembangunan. Sungguh tidak mudah untuk merumuskan peran itu. Data yang ada menunjukkan bahwa agama atau iman ternyata tidak sepenuhnya mampu menangkal korupsi.

Survei Gallup (lembaga survei AS) beberapa tahun lalu di 40 negara dan 1.000 responden/negara menunjukkan bahwa makin miskin suatu negara, penduduknya menganggap makin penting peran agama di dalam kehidupan.

Untuk negara dengan PDB per kapita kurang dari 2.000 dollar AS, 99 persen berpendapat agama sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Di Indonesia dan sejumlah negara berkembang lain, kondisinya sama.

Di negara dengan PDB per kapita lebih dari 25.000 dollar AS, hanya 47 persen berpendapat seperti itu, kecuali di AS yang mencapai 65 persen. Continue reading