Selanjutnya, para ahli mengatakan bahwa dalam keadaan sebenarnya, internalisasi nilai mencakup proses transformasi mental yang cukup panjang.
Proses tersebut dimulai dari memahami nilai-nilai yang diajarkan, merasakan nilai-nilai yang dipahami, menghormati apa yang dirasakan, meyakini dan bersedia terikat (punya komitmen) dengan nilai-nilai yang dihormati dan terdorong untuk melakukan nilai-nilai yang diyakini tersebut.
Jadi, pengertian dan pemahaman kita terhadap suatu atau sejumlah nilai tidak serta-merta dapat mendorong perubahan perilaku. Jika kita tak cukup merasakan, tak cukup menghormati, kurang meyakini dan kurang terikat dengannya, dan belum terdorong melakukannya, nilai-nilai tersebut tak akan memiliki dampak apa pun pada perilaku kita.
Kita harus menentukan nilai-nilai apa yang akan kita tanamkan kepada anak-anak kita dan anak didik kita di sekolah?
Dalam konteks kondisi kebangsaan mutakhir, kejujuran adalah paling mendesak, lalu anti tindak kekerasan, keadilan, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, dan kepedulian sosial.
Kondisi tak mendukung
Sejauh pengamatan saya, agama kurang bisa berperan dalam perjuangan melawan korupsi dan melawan fenomena maraknya tindak kekerasan karena pendidikan agama lebih ditekankan pada aspek kognitif (pengajaran), bukan pada aspek afektif yang berdasar pada pembiasaan dan keteladanan.
Perlu ada langkah nyata untuk mendorong penghayatan, internalisasi nilai dan transformasinya menjadi tindakan seperti diuraikan di atas.
Proses di atas tentu menghadapi sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Seseorang yang dibesarkan dalam keluarga pengusaha yang sering menyuap pejabat pengambil keputusan akan terbiasa dengan praktik korup itu, walaupun dia diberi pelajaran bahwa praktik itu dilarang agama.
Pemuda yang dibesarkan dalam keluarga politisi yang terbiasa memilih pengurus dengan membeli suara dan membeli suara di KPU amat mungkin akan mengikuti kebiasaan itu.
Pejabat di lembaga negara sudah terbiasa dengan kondisi bahwa untuk menduduki posisi tertentu perlu melakukan praktik setoran atau upeti kepada pejabat yang berwenang.
Kalau dia mau promosi atau mutasi ke posisi strategis dan daerah yang baik, dia harus membayar sejumlah dana. Kondisi seperti itu membuat kebanyakan orang menjadi terbiasa dengan praktik buruk itu. Tidak mudah untuk melawannya.
Di sejumlah sekolah yang kurang bermutu (guru-gurunya kurang baik), sering kali kita melihat kenyataan bahwa para guru membantu murid mereka dengan berbagai cara yang tidak mendidik, termasuk membeli soal UN. Maka, murid-murid itu sejak kecil diajari untuk tidak jujur.
Mereka akan terbiasa dengan kebiasaan bahwa perilaku jujur akan menyusahkan. Maka, lengkaplah sudah contoh yang tersaji di depan mata murid bahwa kejujuran itu hanya akan mempersulit diri kita.
Di sebuah media diungkap bahwa seorang pejabat tinggi lembaga penegak hukum mengajak keluarganya untuk menyembunyikan uang dollar yang dipunyainya ke dalam water closet (WC) di dalam kamar mandinya.
Keluarga ini sudah terbiasa melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum negara dan agama. Kebiasaan ini akan membentuk anak-anak mereka menjadi orang yang amat mungkin meneladani perilaku orangtua.
Dalam kenyataan hidup dalam masyarakat kita saat ini, semakin banyak koruptor ditangkap, semakin banyak pula yang ingin menjalankan perilaku korup dan melakukan tipikor. Seakan-akan mereka tak sadar bahwa mereka tengah diintai petugas KPK dan lalu disadap.
Mengapa mereka masih tetap nekat melakukan perbuatan melawan hukum itu?
Pertama, mereka sudah merasa tidak bersalah melakukan tipikor itu karena diri mereka sudah dikuasai keserakahan.
Kedua, mereka sudah tidak merasa malu karena banyak sekali pejabat negara yang melakukan tindakan busuk itu.
Ketiga, mereka sudah tidak merasa takut lagi terhadap hukuman Tuhan dan hukuman pengadilan.
Mereka berpikir, toh, nanti setelah bebas dari hukuman penjara, mereka masih punya uang yang amat banyak. Mungkin yang bisa membuat mereka takut adalah ancaman dimiskinkan atau dihukum mati.
Keempat, masyarakat sama sekali tak memberi sanksi sosial. Para pejabat yang sudah jelas melakukan tipikor masih dihormati masyarakat.
Penulis : Solahudin Wahid
Sumber : Harian Kompas 20 Juni 2016